Jumat, 21 Agustus 2009

Mencintai Rasullullah dan Ahlul Bait

قال رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : فَاطِمَةُ بَضْعَةٌ مِنِّي فَمَنْ أَغْضَبَهَا أَغْضَبَنِي (صحيح البخاري

Sabda Rasulullah saw :
“Fathimah (Putri Rasul saw) Belahan jiwaku, membuatku marah apa apa yg membuatnya marah” (Shahih Bukhari)
Kita mengenal satu sosok manusia yang sangat dicintai oleh Rasulullah saw, manusia yang paling disayang Rasulullah. Siapa? Sayyidatuna Fatimah Azzahra radiyallahu anha. Ini haditsnya baru kita baca. “Fatimah badh’atun minniy..” Putriku Fatimah itu belahan dari tubuhku. Tapi Imam Ibn Hajar didalam Fathul Baari lebih menekankan kepada belahan jiwaku. Maksudnya yang paling kucintai. “..aghdhabaniy man aghdhabaha” siapapun yang membuatnya marah akan membuatku marah.

Kalimatnya sangat singkat, tapi kalau kita perdalam maknanya Rasulullah itu tidak pernah marah untuk dirinya. Rasulullah itu marah hanya karena Allah saja semata. Kalau sudah urusan haknya Allah, baru Rasul saw marah. Berarti orang yang menyinggung perasaan Sayyidatuna Fatimah Azzahra berurusan dengan kemurkaan Allah. “..faman aghdhabaha aghdhabaniy” yang membuatnya marah akan membuatku marah. Ini adalah satu isyarat daripada hadits Nabi saw, betapa cinta Allah kepada Sayyidatuna Fatimah Azzahra, sehingga Rasul murka dengan orang yang membuat Sayyidatuna Fatimah Azzahra marah.

Ketika Sayyidina Ali bin Abi Tholib kw mengirimkan istrinya yaitu Sayyidatuna Fatimah Azzahra, karena tidak tega melihat Sayyidatuna Fatimah tangannya ini luka – luka karena menumbuk padi sendiri, menumbuk gandum sendiri untuk makanan anak – anaknya Sayyidina Hasan dan Sayyidina Husein. Tangan yang demikian lembut mulai tergores – gores dan berdarah.

Sayyidina Ali bin Abi Tholib tidak tega, kalau begitu coba minta pada Rasulullah khadim. “Banyak koq yang mau berkhadim kepada kita”, kata Sayyidina Ali bin Abi Tholib. Sayyidatuna Fatimah datang kepada Rasul saw. Rasulullah berdiri, disini dalil. Diriwayatkan didalam Fathul Baari bisyarah Shahih Bukhari oleh Imam Ibn Hajar Al Asqalani bahwa Rasul itu berdiri untuk menyambut Sayyidatuna Fatimah Azzahra, teriwayatkan dalam banyak hadits shahih. Ini dalil berdirinya kita untuk orang yang kita cintai. Rasulullah datang, Sayyidatuna Fatimah berdiri.

Sayyidatuna Fatimah meminta khadim (pembantu) kepada Ayahnya. Ayahnya berkata “ya Fatimah, kuajarkan kau bacaan dan itu lebih baik daripada pembantu”, Sayyidatuna Fatimah berkata “koq bacaan wahai Ayah?”, Rasul berkata “sebelum kau tidur baca Subhanallah 33X, Alhamdulillah 33X, Allahu Akbar 33X dan akhiri dengan Lailahailallah wahdahu laa syarikalah lahul mulku wa lahul hamdu yuhyi wa yumiitu wa huwa a’laa kulli syaiin qadir, lalu tidurlah. Kau bangun pasti akan lebih segar tubuhmu” (Shahih Bukhari),

Sekilas kita mengatakan bahwa ini adalah perbuatan yang sedikit kejam. Orang minta pembantu malah diberi dzikir, tetapi hadirin ini mujarab. Kalian pulang dari sini boleh coba, tubuh yang sedang lelah dan lesu, coba sebelum tidur membaca Subhanallah, Alhamdulillah, Allahu Akbar, masing – masing 33X dan akhiri dengan Lailahailallah wahdahu laa syarikalah.., lalu tidur dan lihat bangunmu tidak sama dengan bangun yang tanpa dzikir. Ada 1 kenasaban, ada rahasia kekuatan Illahiyah masuk kedalam sel – sel tubuhmu.

Demikian Sang Nabi saw mengajari untuk Sayyidatuna Fatimah Azzahra. Wasiat beliau saw kepada putrinya dan Rasul saw tidak memberikan khadim (pembantu). Kejam sekali Rasul yang mempunyai banyak khadim. Sahabat diberi khadim 5, yang ini dikasih khadim 10.

Sementara putrinya tidak diberi khadim. Kenapa? karena makanan yang dibuat dengan tangan ibunya sendiri lebih berkah daripada makanan yang dibuat tangan pembantu. Kalau anak makanannya dari tangan ibunya jauh lebih berhak dan lebih berkah daripada anak yang diberi makan dari tangan pembantunya. Dari kasih sayangnya, dari dzikirnya, apalagi Sang Ibu ini Sayyidatuna Fatimah Azzahra radiyallahu anha. Rasul tidak mau makanan Sayyidina Hasan wal Husein dicampuri tangan pembantu.

Cukup tangan ibunya Sayyidatuna Fatimah Azzahra karena Rasulullah tahu dari keturunan Sayyidina Hasan wal Husein akan muncul puluhan ribu wali Allah yang akan mengislamkan Barat dan Timur. Ibunda dari semua Habaib yang ada di permukaan bumi. Maka Rasul tidak mau ada tangan pembantu ikut makan daripada makanan Sayyidina Hasan wal Husein radiyallahu anhum. Demikian hadirin – hadirat, indahnya tarbiyah Sang Nabi saw.

Sumber Habib Munzir Al Musawwa

Rabu, 19 November 2008

Rasulullah Manifetasi Empat Sifat Besar Allah taala



Ada empat sifat Allah taala yang telah dipaparkan dalam Surah Alfatihah, Dan Rasulullah saw merupakan manifestasi-Nya yang sempurna dalam sifat-sifat itu. Misalnya sifat pertama, ROBBUL ‘ALAMIN (Tuhan sekalian alam) Rasulullah saw juga merupakan manifestasi sifat itu. Yakni Allah taala sendiri berfirman :
“wama arsalnaaka illa rahmatan lil aalamin- (dan kami tidak mengutus mu (Muhammad) melainkan rahmat bagi semesta alam)” (Al-nabiyaa:108) Dan banyak ayat yang senada dengan itu. Sebagaimana rabbul 'alamin itu menginginkan ketuhanan yang mencapai seluruhnya, demikian pula berkat-berkat Rasulullah saw dan petunjuk serta tabligh beliau adalah untuk seluruh dunia dan seluruh alam. kemudian sifat ke dua, Ar-rahman (yang menampakkan kasih sayang tanpa menuntut imbalan) Rasulullah saw juga merupakan manifestasi sempurna sifat ini, sebab tidak ada tuntutan imbalan bagi berkat-berkat yang beliau bawa, semata-mata hanya menyampaikan kabar suka kepada manusia dan hanya karena menjalankan perintah allah taala, tidak menuntut upah atau kehormatan atau pemberian bentuk-bentuk duniawi apapun. Keihklasan karena Allah itulah yang lebih menodorong beliau dalam setiap perjuangannya dan dalam masa-masa penentangan terhadap beliau. Keihklasan yang mengalahkan bentuk motif-motif duniawi apapun.Lalu beliau juga merupakan manifestasi rahimiyaat Allah taala. Kerja keras yang telah beliau lakukan bersama para sahabat beliau dan penderitaan-penderitaan yang beliau alami dalam melakukan pengkhidmatan-pengkhidmatan tersebut tidaklah sia-sia, melainkan telah diberikan ganjarannya. Dan di dalam Quran syarif sendiri Rasulullah saw itu disebut rahiim.Kemudian beliau saw juga merupakan manifestasi bagi sifat Maaliki yaumiddin (pemilik hari pembalasan). Manifestasi yang sempurna adalah pada peristiwa fatah mekkah. penampilan yang begitu sempurna bagi keempat sifat utama tersebut tidak ditemukan pada diri nabi lainnya.

Rabu, 12 November 2008

Keotentikan Al-Quran
Al-Quran Al-Karim memperkenalkan dirinya dengan berbagai ciri dan sifat. Salah satu di antaranya adalah bahwa ia merupakan kitab yang keotentikannya dijamin oleh Allah, dan ia adalah kitab yang selalu dipelihara. Inna nahnu nazzalna al-dzikra wa inna lahu lahafizhun (Sesungguhnya Kami yang menurunkan Al-Quran dan Kamilah Pemelihara-pemelihara-Nya) (QS 15:9).
Demikianlah Allah menjamin keotentikan Al-Quran, jaminan yang diberikan atas dasar Kemahakuasaan dan Kemahatahuan-Nya, serta berkat upaya-upaya yang dilakukan oleh makhluk-makhluk-Nya, terutama oleh manusia. Dengan jaminan ayat di atas, setiap Muslim percaya bahwa apa yang dibaca dan didengarnya sebagai Al-Quran tidak berbeda sedikit pun dengan apa yang pernah dibaca oleh Rasulullah saw., dan yang didengar serta dibaca oleh para sahabat Nabi saw.
Tetapi, dapatkah kepercayaan itu didukung oleh bukti-bukti lain? Dan, dapatkah bukti-bukti itu meyakinkan manusia, termasuk mereka yang tidak percaya akan jaminan Allah di atas? Tanpa ragu kita mengiyakan pertanyaan di atas, karena seperti yang ditulis oleh almarhum 'Abdul-Halim Mahmud, mantan Syaikh Al-Azhar: "Para orientalis yang dari saat ke saat berusaha menunjukkan kelemahan Al-Quran, tidak mendapatkan celah untuk meragukan keotentikannya."1 Hal ini disebabkan oleh bukti-bukti kesejarahan yang mengantarkan mereka kepada kesimpulan tersebut.
Bukti-bukti dari Al-Quran Sendiri
Sebelum menguraikan bukti-bukti kesejarahan, ada baiknya saya kutipkan pendapat seorang ulama besar Syi'ah kontemporer, Muhammad Husain Al-Thabathaba'iy, yang menyatakan bahwa sejarah Al-Quran demikian jelas dan terbuka, sejak turunnya sampai masa kini. Ia dibaca oleh kaum Muslim sejak dahulu sampai sekarang, sehingga pada hakikatnya Al-Quran tidak membutuhkan sejarah untuk membuktikan keotentikannya. Kitab Suci tersebut lanjut Thabathaba'iy memperkenalkan dirinya sebagai Firman-firman Allah dan membuktikan hal tersebut dengan menantang siapa pun untuk menyusun seperti keadaannya. Ini sudah cukup menjadi bukti, walaupun tanpa bukti-bukti kesejarahan. Salah satu bukti bahwa Al-Quran yang berada di tangan kita sekarang adalah Al-Quran yang turun kepada Nabi saw. tanpa pergantian atau perubahan --tulis Thabathaba'iy lebih jauh-- adalah berkaitan dengan sifat dan ciri-ciri yang diperkenalkannya menyangkut dirinya, yang tetap dapat ditemui sebagaimana keadaannya dahulu.2
Dr. Mustafa Mahmud, mengutip pendapat Rasyad Khalifah, juga mengemukakan bahwa dalam Al-Quran sendiri terdapat bukti-bukti sekaligus jaminan akan keotentikannya.3
Huruf-huruf hija'iyah yang terdapat pada awal beberapa surah dalam Al-Quran adalah jaminan keutuhan Al-Quran sebagaimana diterima oleh Rasulullah saw. Tidak berlebih dan atau berkurang satu huruf pun dari kata-kata yang digunakan oleh Al-Quran. Kesemuanya habis terbagi 19, sesuai dengan jumlah huruf-huruf B(i)sm Ali(a)h Al-R(a)hm(a)n Al-R(a)him. (Huruf a dan i dalam kurung tidak tertulis dalam aksara bahasa Arab).
Huruf (qaf) yang merupakan awal dari surah ke-50, ditemukan terulang sebanyak 57 kali atau 3 X 19.
Huruf-huruf kaf, ha', ya', 'ayn, shad, dalam surah Maryam, ditemukan sebanyak 798 kali atau 42 X 19.
Huruf (nun) yang memulai surah Al-Qalam, ditemukan sebanyak 133 atau 7 X 19. Kedua, huruf (ya') dan (sin) pada surah Yasin masing-masing ditemukan sebanyak 285 atau 15 X 19. Kedua huruf (tha') dan (ha') pada surah Thaha masing-masing berulang sebanyak 342 kali, sama dengan 19 X 18.
Huruf-huruf (ha') dan (mim) yang terdapat pada keseluruhan surah yang dimulai dengan kedua huruf ini, ha' mim, kesemuanya merupakan perkalian dari 114 X 19, yakni masing-masing berjumlah 2.166.
Bilangan-bilangan ini, yang dapat ditemukan langsung dari celah ayat Al-Quran, oleh Rasyad Khalifah, dijadikan sebagai bukti keotentikan Al-Quran. Karena, seandainya ada ayat yang berkurang atau berlebih atau ditukar kata dan kalimatnya dengan kata atau kalimat yang lain, maka tentu perkalian-perkalian tersebut akan menjadi kacau.
Angka 19 di atas, yang merupakan perkalian dari jumlah-jumlah yang disebut itu, diambil dari pernyataan Al-Quran sendiri, yakni yang termuat dalam surah Al-Muddatstsir ayat 30 yang turun dalam konteks ancaman terhadap seorang yang meragukan kebenaran Al-Quran.
Demikianlah sebagian bukti keotentikan yang terdapat di celah-celah Kitab Suci tersebut.
Bukti-bukti Kesejarahan
Al-Quran Al-Karim turun dalam masa sekitar 22 tahun atau tepatnya, menurut sementara ulama, dua puluh dua tahun, dua bulan dan dua puluh dua hari.
Ada beberapa faktor yang terlebih dahulu harus dikemukakan dalam rangka pembicaraan kita ini, yang merupakan faktor-faktor pendukung bagi pembuktian otentisitas Al-Quran.
(1) Masyarakat Arab, yang hidup pada masa turunnya Al-Quran, adalah masyarakat yang tidak mengenal baca tulis. Karena itu, satu-satunya andalan mereka adalah hafalan. Dalam hal hafalan, orang Arab --bahkan sampai kini-- dikenal sangat kuat.
(2) Masyarakat Arab --khususnya pada masa turunnya Al-Quran-- dikenal sebagai masyarakat sederhana dan bersahaja: Kesederhanaan ini, menjadikan mereka memiliki waktu luang yang cukup, disamping menambah ketajaman pikiran dan hafalan.
(3) Masyarakat Arab sangat gandrung lagi membanggakan kesusastraan; mereka bahkan melakukan perlombaan-perlombaan dalam bidang ini pada waktu-waktu tertentu.
(4) Al-Quran mencapai tingkat tertinggi dari segi keindahan bahasanya dan sangat mengagumkan bukan saja bagi orang-orang mukmin, tetapi juga orang kafir. Berbagai riwayat menyatakan bahwa tokoh-tokoh kaum musyrik seringkali secara sembunyi-sembunyi berupaya mendengarkan ayat-ayat Al-Quran yang dibaca oleh kaum Muslim. Kaum Muslim, disamping mengagumi keindahan bahasa Al-Quran, juga mengagumi kandungannya, serta meyakini bahwa ayat-ayat Al-Quran adalah petunjuk kebahagiaan dunia dan akhirat.
(5) Al-Quran, demikian pula Rasul saw., menganjurkan kepada kaum Muslim untuk memperbanyak membaca dan mempelajari Al-Quran dan anjuran tersebut mendapat sambutan yang hangat.
(6) Ayat-ayat Al-Quran turun berdialog dengan mereka, mengomentari keadaan dan peristiwa-peristiwa yang mereka alami, bahkan menjawab pertanyaan-pertanyaan mereka. Disamping itu, ayat-ayat Al-Quran turun sedikit demi sedikit. Hal itu lebih mempermudah pencernaan maknanya dan proses penghafalannya.
(7) Dalam Al-Quran, demikian pula hadis-hadis Nabi, ditemukan petunjuk-petunjuk yang mendorong para sahabatnya untuk selalu bersikap teliti dan hati-hati dalam menyampaikan berita --lebih-lebih kalau berita tersebut merupakan Firman-firman Allah atau sabda Rasul-Nya.
Faktor-faktor di atas menjadi penunjang terpelihara dan dihafalkannya ayat-ayat Al-Quran. Itulah sebabnya, banyak riwayat sejarah yang menginformasikan bahwa terdapat ratusan sahabat Nabi saw. yang menghafalkan Al-Quran. Bahkan dalam peperangan Yamamah, yang terjadi beberapa saat setelah wafatnya Rasul saw., telah gugur tidak kurang dari tujuh puluh orang penghafal Al-Quran.4
Walaupun Nabi saw. dan para sahabat menghafal ayat-ayat Al-Quran, namun guna menjamin terpeliharanya wahyu-wahyu Ilahi itu, beliau tidak hanya mengandalkan hafalan, tetapi juga tulisan. Sejarah menginformasikan bahwa setiap ada ayat yang turun, Nabi saw. lalu memanggil sahabat-sahabat yang dikenal pandai menulis, untuk menuliskan ayat-ayat yang baru saja diterimanya, sambil menyampaikan tempat dan urutan setiap ayat dalam surahnya. Ayat-ayat tersebut mereka tulis dalam pelepah kurma, batu, kulit-kulit atau tulang-tulang binatang. Sebagian sahabat ada juga yang menuliskan ayat-ayat tersebut secara pribadi, namun karena keterbatasan alat tulis dan kemampuan maka tidak banyak yang melakukannya disamping kemungkinan besar tidak mencakup seluruh ayat Al-Quran. Kepingan naskah tulisan yang diperintahkan oleh Rasul itu, baru dihimpun dalam bentuk "kitab" pada masa pemerintahan Khalifah Abu Bakar r.a.5
Penulisan Mushhaf
Dalam uraian sebelumnya dikemukakan bahwa ketika terjadi peperangan Yamamah, terdapat puluhan penghafal Al-Quran yang gugur. Hal ini menjadikan 'Umar ibn Al-Khaththab menjadi risau tentang "masa depan Al-Quran". Karena itu, beliau mengusulkan kepada Khalifah Abu Bakar agar mengumpulkan tulisan-tulisan yang pernah ditulis pada masa Rasul. Walaupun pada mulanya Abu Bakar ragu menerima usul tersebut --dengan alasan bahwa pengumpulan semacam itu tidak dilakukan oleh Rasul saw.-- namun pada akhirnya 'Umar r.a. dapat meyakinkannya. Dan keduanya sepakat membentuk suatu tim yang diketuai oleh Zaid ibn Tsabit dalam rangka melaksanakan tugas suci dan besar itu.
Zaid pun pada mulanya merasa sangat berat untuk menerima tugas tersebut, tetapi akhirnya ia dapat diyakinkan --apalagi beliau termasuk salah seorang yang ditugaskan oleh Rasul pada masa hidup beliau untuk menuliskan wahyu Al-Quran. Dengan dibantu oleh beberapa orang sahabat Nabi, Zaid pun memulai tugasnya. Abu Bakar r.a. memerintahkan kepada seluruh kaum Muslim untuk membawa naskah tulisan ayat Al-Quran yang mereka miliki ke Masjid Nabawi untuk kemudian diteliti oleh Zaid dan timnya. Dalam hal ini, Abu Bakar r.a. memberi petunjuk agar tim tersebut tidak menerima satu naskah kecuali yang memenuhi dua syarat:
Pertama, harus sesuai dengan hafalan para sahabat lain.
Kedua, tulisan tersebut benar-benar adalah yang ditulis atas perintah dan di hadapan Nabi saw. Karena, seperti yang dikemukakan di atas, sebagian sahabat ada yang menulis atas inisiatif sendiri.
Untuk membuktikan syarat kedua tersebut, diharuskan adanya dua orang saksi mata.
Sejarah mencatat bahwa Zaid ketika itu menemukan kesulitan karena beliau dan sekian banyak sahabat menghafal ayat Laqad ja'akum Rasul min anfusikum 'aziz 'alayh ma 'anittun harish 'alaykum bi almu'minina Ra'uf al-rahim (QS 9:128). Tetapi, naskah yang ditulis di hadapan Nabi saw. tidak ditemukan. Syukurlah pada akhirnya naskah tersebut ditemukan juga di tangan seorang sahabat yang bernama Abi Khuzaimah Al-Anshari. Demikianlah, terlihat betapa Zaid menggabungkan antara hafalan sekian banyak sahabat dan naskah yang ditulis di hadapan Nabi saw., dalam rangka memelihara keotentikan Al-Quran. Dengan demikian, dapat dibuktikan dari tata kerja dan data-data sejarah bahwa Al-Quran yang kita baca sekarang ini adalah otentik dan tidak berbeda sedikit pun dengan apa yang diterima dan dibaca oleh Rasulullah saw., lima belas abad yang lalu.
Sebelum mengakhiri tulisan ini, perlu dikemukakan bahwa Rasyad Khalifah, yang menemukan rahasia angka 19 yang dikemukakan di atas, mendapat kesulitan ketika menemukan bahwa masing-masing kata yang menghimpun Bismillahirrahmanirrahim, kesemuanya habis terbagi 19, kecuali Al-Rahim. Kata Ism terulang sebanyak 19 kali, Allah sebanyak 2.698 kali, sama dengan 142 X 19, sedangkan kata Al-Rahman sebanyak 57 kali atau sama dengan 3 X 19, dan Al-Rahim sebanyak 115 kali. Di sini, ia menemukan kejanggalan, yang konon mengantarnya mencurigai adanya satu ayat yang menggunakan kata rahim, yang pada hakikatnya bukan ayat Al-Quran. Ketika itu, pandangannya tertuju kepada surah Al-Tawbah ayat 128, yang pada mulanya tidak ditemukan oleh Zaid. Karena, sebagaimana terbaca di atas, ayat tersebut diakhiri dengan kata rahim.
Sebenarnya, kejanggalan yang ditemukannya akan sirna, seandainya ia menyadari bahwa kata rahim pada ayat Al-Tawbah di atas, bukannya menunjuk kepada sifat Tuhan, tetapi sifat Nabi Muhammad saw. Sehingga ide yang ditemukannya dapat saja benar tanpa meragukan satu ayat dalam Al-Quran, bila dinyatakan bahwa kata rahim dalam Al-Quran yang menunjuk sifat Allah jumlahnya 114 dan merupakan perkalian dari 6 X 19.
Penutup
Demikianlah sekelumit pembicaraan dan bukti-bukti yang dikemukakan para ulama dan pakar, menyangkut keotentikan ayat-ayat Al-Quran. Terlihat bagaimana Allah menjamin terpeliharanya Kitab Suci ini, antara lain berkat upaya kaum beriman.
Catatan kaki
1 'Abdul Halim Mahmud, Al-Tafkir Al-Falsafiy fi Al-Islam, Dar Al-Kitab Al-Lubnaniy, Beirut, t.t., h. 50.
2 Muhammad Husain Al-Thabathabaly, Al-Qur'an fi Al-Islam, Markaz I'lam Al-Dzikra Al-Khamisah li Intizhar Al-Tsawrah Al-Islamiyah, Teheran, h. 175.
3 Mustafa Mahmud, Min Asrar Al-Qur'an, Dar Al-Ma'arif, Mesir, 1981, h. 64-65.
4 'Abdul Azhim Al-Zarqaniy, Manahil Al-'Irfan i 'Ulum Al-Qur'an, Al-Halabiy, Kairo, 1980, jilid 1, h. 250.
5 Ibid., h. 252.
Artikel Dr. Yusuf Qardhawi
Indeks Islam Indeks Qardhawi Indeks Artikel Tentang Pengarang
ISNET Homepage MEDIA Homepage Program Kerja Koleksi Anggota

APAKAH WANITA ITU JAHAT DALAM SEGALANYA?
Dr. Yusuf Al-Qardhawi

PERTANYAAN

Dalam buku Nahjul Balaghah karangan Amirul-Mukminin Ali bin
Abi Thalib r.a terdapat suatu keterangan:

"Wanita itu jahat dalam segalanya. Dan yang paling
jahat dari dirinya ialah kita tidak dapat terlepas
dari padanya."

Apakah arti yang sebenarnya (maksud) dari kalimat tersebut?
Apakah hal itu sesuai dengan pandaigan Islam terhadap
wanita? Saya mohon penjelasannya. Terima kasih.

JAWAB

Ada dua hal yang nyata kebenarannya, tetapi harus dijelaskan
iebih dahulu, yaitu:

Pertama, yang menjadi pegangan atau dasar dari
masalah-masalah agama ialah firman Allah swt. dan sabda Nabi
saw, selain dari dua ini, setiap orang kata-katanya boleh
diambil dan ditinggalkan. Maka, Al-Qur'an dan As-Sunnah,
kedua-duanya adalah sumber yang kuat dan benar.

Kedua, sebagaimana telah diketahui oleh para analis dan
cendekiawan Muslim, bahwa semua tulisan yang ada pada buku
tersebut di atas (Nahjul Balaghah), baik yang berupa
dalil-dalil atau alasan-alasan yang dikemukakan, tidak
semuanya tepat. Diantara hal-hal yang ada pada buku itu
ialah tidak menggambarkan masa maupun pikiran serta cara di
zaman Ali r.a.

Oleh sebab itu, tidak dapat dijadikan dalil dan tidak dapat
dianggap benar, karena semua kata-kata dalam buku itu tidak
ditulis oleh Al-Imam Ali r.a.

Didalam penetapan ilmu agama, setiap ucapan atau kata-kata
dari seseorang, tidak dapat dibenarkan, kecuali disertai
dalil yang shahih dan bersambung, yang bersih dari
kekurangan atau aib dan kelemahan kalimatnya.

Maka, kata-kata itu tidak dapat disebut sebagai ucapan Ali
r.a. karena tidak bersambung dan tidak mempunyai sanad yang
shahih. Sekalipun kata-kata tersebut mempunyai sanad yang
shahih, bersambung, riwayatnya adil dan benar, maka wajib
ditolak, karena hal itu bertentangan dengan dalil-dalil dan
hukum Islam. Alasan ini terpakai di dalam segala hal
(kata-kata) atau fatwa, walaupun sanadnya seterang matahari.

Mustahil bagi Al-Imam Ali r.a. mengatakan hal itu, dimana
beliau sering membaca ayat-ayat Al-Qur'an, di antaranya
adalah:

"Wahai sekalian manusia! Bertakwalah kepada
Tuhanmu yang telah menciptakan kamu dari seorang,
yang kemudian darinya Allah lantas menciptakan
istrinya, dari keduanya Allah mengembangbiakkan
laki-laki dan wanita yang banyak ..." (Q.s.
An-Nisa': 1)

"Maka Tuhan mereka memperkenankan permohonannya
(dengan firman-Nya): 'Bahwa sesungguhnya Aku tiada
mensia-siakan amal orang-orang yang beramal di
antara kamu, baik laki-laki maupun wanita,
(karena) sebagian darimu adalah keturunan dari
sebagian yang lain ..." (Q.s. Ali Imran: 195).

"Dan diantara tanda-tanda kekuasaan Allah ialah
Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu
sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram
kepadanya, dan Allah menjadikannya diantara kamu
rasa kasih dan sayang ..." (Q.s. Ar-Ruum: 21).

Masih banyak lagi di antara ayat-ayat suci Al-Qur'an yang
mengangkat dan memuji derajat kaum wanita, disamping kaum
laki-laki. Sebagaimana Nabi saw. bersabda:

"Termasuk tiga sumber kebahagiaan bagi laki-laki
ialah wanita salehat, kediaman yang baik dan
kendaraan yang baik pula." (H.r. Ahmad dengan
sanad yang shahih).

"Di dunia ini mengandung kenikmatan, dan
sebaik-baik kenikmatan itu adalah wanita yang
salehat." (H.r. Imam Muslim, Nasa'i dan Ibnu
Majah).

"Barangsiapa yang dikaruniai oleh Allah wanita
yang salehat, maka dia telah dibantu dalam
sebagian agamanya; maka bertakwalah pula kepada
Allah dalam sisanya yang sebagian."

Banyak lagi hadis-hadis dari Nabi saw. yang memuji wanita;
maka mustahil bahwa Ali r.a. berkata sebagaimana di atas.

Sifat wanita itu berbeda dengan sifat laki-laki dari segi
fitrah; kedua-duanya dapat menerima kebaikan, kejahatan,
hidayat. kesesatan dan sebagainya.

Firman Allah swt. dalam Al-Qur'an,

"Jiwa dan penyempurnaannya (ciptaannya); maka
Allah mengilhamkan pada jiwa itu (jalan) kefasikan
dan ketakwaannya. Sesungguhnya beruntunglah orang
yang mensucikan jiwa itu, dan sesungguhnya
merugilah orang yang mengotorinya." (Q.s.
Asy-Syams: 7-10)

Mengenai fitnah yang ada pada wanita disamping fitnah yang
ada pada harta dan anak-anak, dimana hal itu telah
diterangkan di dalam Al-Qur'an dan dianjurkan supaya mereka
waspada dan menjaga diri dari fitnah tersebut.

Dalam sabda Rasulullah saxv. diterangkan mengenai fitnahnya
kaum wanita, yaitu sebagai berikut,

"Setelah aku tiada, tidak ada fitnah yang paling
besar gangguannya bagi laki-laki daripada
fitnahnya wanita." (H.r. Bukhari).

Arti dari hadis di atas menunjukkan bahwa wanita itu bukan
jahat, tetapi mempunyai pengaruh yang besar bagi manusia,
yang dikhawatirkan lupa pada kewajibannya, lupa kepada Allah
dan terhadap agama.

Selain masalah wanita, Al-Qur'an juga mengingatkan manusia
mengenai fitnah yang disebabkan dari harta dan anak-anak.

Allah swt. berfirman dalam Al-Qur'an:

"Sesungguhnya harta-harta dan anak-anakmu adalah
fitnah (cobaan bagimu); dan pada sisi Allah-lah
pahala yang besar." (Q.s. At-Taghaabun: 15)

"Hai orang-orang yang beriman!Janganlah
harta-hartamu dan anak-anakmu melalaikanmu
mengingat kepada Allah. Barangsiapa yang berbuat
demikian' maka mereka termasuk orang-orang yang
merugi." (Q.s. Al-Munaafiquun: 9).

Selain dari itu (wanita, anak-anak dan harta yang dapat
mendatangkan fitnah), harta juga sebagai sesuatu yang baik.

Firman Allah swt.:

"Allah menjadikan bagi kamu istri-istri dari
jenismu sendiri dan menjadikan bagimu dan
istri-istrimu itu, anak-anak dan cucu; dan
memberimu rezeki dari harta yang baik-baik ..."
(Q.s. An-Nahl: 72)

Oleh karena itu, dianjurkannya untuk waspada dari fitnah
kaum wanita, fitnah harta dan anak-anak, hal itu bukan
berarti kesemuanya bersifat jahat, tetapi demi mencegah
timbulnya fitnah yang dapat melalaikan kewajiban-kewajiban
yang telah diperintahkan oleh Allah swt.

Allah swt. tidak mungkin menciptakan suatu kejahatan,
kemudian dijadikannya sebagai suatu kebutuhan dan keharusan
bagi setiap makhluk-Nya.

Makna yang tersirat dari suatu kejahatan itu adalah suatu
bagian yang amat sensitif, realitanya menjadi lazim bagi
kebaikan secara mutlak. Segala bentuk kebaikan dan kejahatan
itu berada di tangan (kekuasaan) Allah swt.

Oleh sebab itu, Allah memberikan bimbingan bagi kaum
laki-laki untuk menjaga dirinya dari bahaya dan fitnah yang
dapat disebabkan dan mudah dipengaruhi oleh hal-hal
tersebut.

Diwajibkanjuga bagi kaum wanita, agar waspada dan
berhati-hati dalam menghadapi tipu muslihat yang diupayakan
oleh musuh-musuh Islam untuk menjadikan kaum wanita sebagai
sarana perusak budi pekerti, akhlak yang luhur dan bernilai
suci.

Wajib bagi para wanita Muslimat kembali pada kodratnya
sebagai wanita yang saleh, wanita hakiki, istri salehat, dan
sebagai ibu teladan bagi rumah tangga, agama dan negara.
Artikel Dr. Yusuf Qardhawi
Indeks Islam Indeks Qardhawi Indeks Artikel Tentang Pengarang
ISNET Homepage MEDIA Homepage Program Kerja Koleksi Anggota

APAKAH NABI SAW MAKHLUK ALLAH YANG PERTAMA?
Dr. Yusuf Al-Qardhawi
Pertanyaan:
Benarkah bahwa Nabi Muhammad saw. makhluk Allah yang pertama
dan bahwa beliau diciptakan dari cahaya?
Kami mengharapkan pendapat yang disertai dalil-dalil dari
Al-Qur'an dan As-Sunnah.
Jawab:
Telah diketahui bahwa hadis-hadis yang menyatakan bahwa
makhluk pertama adalah itu atau ini ... dan seterusnya,
tidak satu pun yang shahih, sebagaimana ditetapkan oleh para
ulama Sunnah.
Oleh karena itu, kami dapatkan sebagian bertentangan dengan
sebagian lainnya. Sebuah hadis mengatakan, "Bahwa yang
pertama kali diciptakan oleh Allah adalah pena."
Hadis lainnya mengatakan, "Yang pertama kali diciptakan
Allah adalah akal." Telah tersiar di antara orang awam dari
kisah-kisah maulid yang sering dibaca bahwa Allah
menggenggam cahaya-Nya, lalu berfirman, "Jadilah engkau
Muhammad." Maka ia adalah makhluk yang pertama kali
diciptakan Allah, dan dari situ diciptakan langit, bumi dan
seterusnya.
Dari itu tersiar kalimat:
"Shalawat dan salam bagimu wahai makhluk Allah yang
pertama," hingga kalimat itu dikaitkan dengan adzan yang
disyariatkan, seakan-akan bagian darinya.
Perkataan itu tidak sah riwayatnya dan tidak dibenarkan oleh
akal, tidak akan mengangkat agama, dan tidak pula
bermanfaat bagi perkembangan dari peradaban dunia.
Keawalan Nabi Muhammad saw. sebagai makhluk Allah tidak
terbukti, seandainya terbukti tidaklah berpengaruh pada
keutamaan dan kedudukannya di sisi Allah. Tatkala Allah
Ta'ala memujinya dalam Kitab-Nya, maka Allah memujinya
dengan alasan keutamaaan yang sebenarnya. Allah berfirman:
"Dan sesungguhnya kamu benar-benar orang yang berbudi
pekerti agung" (Q.s. Al-Qalam: 4).
Hal itu yang terbukti dan ditetapkan secara mutawatir. Nabi
kita Muhammad saw. adalah Muhammad bin Abdullah bin Abdul
Muththalib Al-Hasyimi Al-Quraisy yang dilahirkan lantaran
kedua orang tuanya, Abdullah bin Abdul Muththalib dan Aminah
binti Wahb, di Mekkah, pada tahun Gajah. Beliau dilahirkan
scbagaimana halnya manusia biasa dan dibesarkan sebagaimana
manusia dibesarkan. Beliau diutus sebagaimana para Nabi dan
Rasul sebelumnya diutus, dan bukan Rasul yang pertama di
antara Rasul-rasul.
Beliau hidup dalam waktu terbatas, kemudian Allah
memanggilnya kembali kepada-Nya:
"Sesungguhnya kamu akan mati dan sesungguhnya mereka akan
mati (pula)." (Q.s. Az-Zumar: 30).
Beliau akan ditanya pada hari Kiamat, sebagaimana para Rasul
ditanya:
"(Ingatlah) hari di waktu Allah mengumpulkan para Rasul,
lalu Allah bertanya (kepada mereka), 'Apa jawaban kaummu
terhadap (seruan)mu?' Para Rasul menjawab, 'Tidak ada
pengetahuan kami (tentang itu) sesungguhnya Engkau-lah yang
mengetahui perkara yang gaib'." (Q.s. Al-Maidah: 109).
Al-Qur'an telah menegaskan kemanusiaan Muhammad saw. di
berbagai tempat dan Allah memerintahkan menyampaikan hal itu
kepada orang-orang dalam berbagai surat, antara lain:
"Katakanlah, 'Sesungguhnya aku ini hanya seorang manusia
seperti kamu, yang diwahyukann kepadaku, Bahwa sesungguhnya
Tuhan kamu itu adalah Tuhan yang Esa ...'." (Q.s. Al-Kahfi:
110).
"Katakanlah, 'Maha Suci Tuhanku, bukankah aku ini hanya
seorang manusia yang menjadi Rasul?'" (Q.s. Al-Isra': 93).
Ayat di atas menunjukkan bahwa beliau adalah manusia seperti
manusia-manusia lainnya, tidak memiliki keistimewaan,
kecuali dengan wahyu dan risalah.
Nabi saw. menegaskan makna kemanusiaannya dan penghambaannya
terhadap Allah, dan memperingatkan agar tidak mengikuti
kebiasaan-kebiasaan dari orang-orang sebelum kita, yaitu
penganut agama-agama terdahulu dalam hal memuja dan
menyanjung:
"Janganlah kamu sekalian menyanjungku sebagaimana kaum
Nasrani menyanjung Isa putra Maryam. sesungguhnya aku adalah
hamba Allah dan Rasul-Nya." (H.r. Bukhari).
Nabi yang agung ini adalah manusia seperti manusia lainnya
dan tidak diciptakan dari cahaya maupun emas, tetapi
diciptakan dari air yang memancar dan keluar dari tulang
sulbi laki-laki dan tulang rusuk wanita sebagai bahan
penciptaan Muhammad saw.
Adapun dari segi risalah dan hidayat-Nya, maka beliau adalah
cahaya Allah dan pelita yang amat terang. Al-Qur'an
menyatakan hal itu dan berbicara kepada Nabi saw.:
"Wahai Nabi sesungguhnya Kami mengutusmu untuk menjadi saksi
dan pembawa kabar gembira serta pemberi peringatan. Untuk
menjadi penyeru pada agama Allah dengan izin-Nya dan untuk
menjadi cahaya yang menerangi."(Q.s. Al-Ahzab: 45-6).
Allah swt. berfirman yang ditujukan kepada Ahlulkitab:
"... Sesungguhnya telah datang kepadamu cahaya dari Allah,
dan Kitab yang menerangkan." (Q.s. Al-Maidah: 15).
"Cahaya" dalam ayat itu adalah Rasulullah saw, sebagaimana
Al-Qur'an yang diturunkan kepada beliau adalah juga cahaya.
Allah swt. berfirman:
"Maka berimanlah kamu kepada Allah dan Rasul-Nya serta
cahanya (Al-Qur an) yang telah Kami turunkan." (Q.s.
At-Taghaabun: 8).
"... dan telah Kami turunkan kepada kamu cahaya yang
terangbenderang." (Q.s. An-Nisa': 174).
Allah telah menentukan tugasnya dengan firman-Nya:
"... Supaya kamu mengeluarkan manusia dari kegelapan menuju
cahaya terang-benderang..." (Q.s. Ibrahim: 1).
Doa Nabi saw.:
"Ya Allah, berilah aku cahaya di dalam hatiku berilah aku
cahaya dalam pendengaranku dan berilah aku cahaya dalam
penglihatanku berilah aku cahaya dalam rambutku berilah aku
cahaya di sebelah kanan dan kiriku di depan dan di
belakangku." (H.r. Muttafaq Alaih)
Maka, beliau adalah Nabi pembawa cahaya dan Rasul pembawa
hidayat. Semoga Allah menjadikan kita sebagai orang-orang
yang mengikuti petunjuk cahaya dan Sunnahnya. Amin.